Mbah Noto: Salam Kagem Sedherek Katulik Njih
[Parokiminomartani.com] – Kamis (4/1/2018) siang, saat melewati Dusun Leles, Condongcatur, di sebuah kios kelontong yang terletak di sudut jalan, tampak seorang wanita sepuh duduk di depan kios itu. Wanita sepuh itu tidak lain adalah Mbah Notodiharjo. Karena pernah mampir ke rumahnya, kali ini saya pun menyempatkan diri mampir lagi.
“Selamat siang Mbah,” ujar saya sambil menjabat dan mencium tangannya. Mbah Noto tampak pangling tapi tetap memperlihatkan senyum ramah. Gigi-giginya sudah tidak terlihat lagi. Ia sudah ompong seiring usianya yang menua.
Mbah Noto yang bersahaja adalah bagian penting dari sejarah Gereja dan paroki Minomartani. 40 tahun silam, ketika Perumnas Condongcatur dibangun dan mulai ditempati, umat katolik belum memiliki gereja. Dari pendekatan beberapa tokoh Katolik waktu itu, antara lain Bapak FX Sardjono, Mbah Noto yang memiliki rumah yang cukup besar dan luas mempersilakan umat Katolik untuk misa di rumahnya. Mbah Noto adalah penganut agama Islam.
Pertama kali misa diselenggarakan di rumah Mbah Notodiharjo 13 Februari 1979 dipimpin Romo Y. Biyaktosuwarno, MSF. Dua tahun lebih rumah Mbah Noto dijadikan sebagai “gereja” sementara. Baru pada 3 Mei 1981 umat Katolik di Condongcatur pindah ke gereja Santo Yusup Pekerja.
Mbah Noto sampai saat ini masih dalam kondisi sehat. “Paling rada pusing,” katanya tentang kesehatan dirinya. Mengetahui saya adalah salah umat, Mbah Noto lantas berkata, “ Salam kagem sedherek katulik njih,” ujarnya.
Mbah Notopun bercerita beberapa kenangan ketika rumahnya dijadikan “gereja” sementara. Salah satu yang masih diingatnya adalah pemasangan listrik di rumahnya yang dilakukan oleh umat Katolik secara gotong royong. “Waktu itu satu dusun Leles hanya rumah saya yang ada listriknya. Yang pasang umat Katolik,” ujarnya, kembali tersenyum. Setelah merasa cukup lama bercerita, sayapun pamit. (sdr)